Jumat, 20 Mei 2011

Tidak Memiliki Tanah Air…

Sebuah Satire
 
Seiring dengan semakin berkembangnya isu-isu kelompok masyarakat yang ingin membentuk Negara sendiri, tersiar kabar di daerah Utara Jakarta berkembang pula kelompok masyarakat yang mengaku tidak memiliki Tanah Air.
Demi mencegah semakin berkembangnya hal-hal yang buruk, maka kepala Negara memerintahkan untuk mengirim dua orang wakil pemerintah (PNS) yang bertujuan mencari kebenaran fakta-fakta penyangkalan terhadap tanah air tersebut.  Kedua PNS tersebut berangkat pagi hari. Sore harinya kedua orang wakil pemerintah tersebut tidak kembali. Esok harinya, kedua perwakilan datang ke kantor pukul delapan pagi seperti biasa langsung menghadap kepala Negara. Kepala Negarapun menanyakan hasil pencarian kebenaran fakta-fakta.

Kepala Negara  : “Bagaimana hasil penelusuran di lapangan..?”
PNS                   : “Tidak ada masalah, semua beres… Apalagi saat kami datang…!”,

Kepala Negara  :  “Oke… saya terima”.
Kepala Negarapun tersenyum melihat hasil kerja kedua PNS tersebut. Kedua PNS tersebut langsung ke bagian Tata Usaha untuk melakukan klaim biaya perjalanan.
Ternyata kepala Negara lebih takut jika ketahuan habis menjalani operasi hati daripada jika ketahuan tidak memiliki hati. Karena takut tidak dapat mencalonkan diri lagi dengan alas an organnya tidak sempurna.
Tiga hari sesudahnya, kabar yang berkembang masih saja serupa. Masih sajaada isu mengenai penyangkalan atas tanah air. Akhirnya kepala Negara mengirimkan dua orang wartawan dan dua orang LSM untuk menelusuri fakta-fakta. Tetapi karena esok hari kepala Negara mau menjalani operasi pada organ hati, maka kepala Negara memerintahkan untuk memberi laporan tiga hari sesudah operasi.
Tiga hari kemudian dua orang wartawan dan dua orang LSM dating menghadap kepala Negara. Saat ditanya oleh kepala Negara, mereka hanya menangis tanpa menjawab apapun. Mereka pulang diberi ongkos secukupnya oleh kepala Negara.
Ternyata kepala Negara lebih takut jika ketahuan habis menjalani operasi hati daripada jika ketahuan tidak memiliki hati. Karena takut tidak dapat mencalonkan diri lagi dengan alasan organnya tidak sempurna.
Ternyata kepala Negara lebih takut jika ketahuan habis menjalani operasi hati daripada jika ketahuan tidak memiliki hati. Karena takut tidak dapat mencalonkan diri lagi dengan alas an organnya tidak sempurna.
Karena tidak puas, akhirnya kepala Negara datang sendiri ke lokasi yang dianggap merupakan sarang kelompok masyarakat yang tidak mengaku memiliki tanah air.

Dengan sterilisasi jalan dan pengawalan ketat, akhirnya kepala Negara berkesempatan mengunjungi lokasi yang dianggap berbahaya tersebut. Sesampainya di sana, presiden melihat antrian panjang yang sedang membawa jerigen. Ketika kepala Negara turun, antrian tetap panjang tanpa menghiraukan kedatangan kepala Negara.

Ternyata kepala Negara lebih takut jika ketahuan habis menjalani operasi hati daripada jika ketahuan tidak memiliki hati. Karena takut tidak dapat mencalonkan diri lagi dengan alas an organnya tidak sempurna.
Akhirnya kepala Negara bisa melakukan tanya jawab lansung dengan masyarakat.
Kepala negara  :“ “Saya mendengar kabar kurang baik…”
Penduduk          :“ “Kabar apaan pak…?”
Kepala Negara  :“ “Kalian mengaku tidak memiliki tanah air…?”
Penduduk          :“ “Boro-boro pak, kita itu disini emang nggak punya tanah air…. Air disini harus beli, pake ngantri lagi. Lha kalo tanah, pan kita semua pada ngontrak, jadi mana ada yang punyain tanah air…”

Mendapat jawaban tersebut, kepala Negara puas dan langsung mohon diri. Tetap dengan tersenyum, tetap dengan hati-hati.

Esok harinya para wartawan datang untuk meminta keterangan kepala Negara. Kepala Negara memberikan pernyataan sama seperti jawaban kedua PNS yang terdahulu dikirim. Diantara wartawan, terdapat dua orang LSM dan dua orang wartawan yang pernah dikirim oleh kepala Negara.
Dibelakang mimbar, mereka heran dan mendesak kepala Negara mengapa tidak ada perasaan sedih melihat masyarakat di sana.
Wartawan         : “Kok bapak tidak kelihatan sedih…?”, Tanya seorang LSM.
Kepala Negara            : “Ah…semuanya baik-baik saja kok...sama seperti di banyak tempat lain di Indonesia…”

Sambil saling berpandangan keempat orang ini menyusun strategi pertanyaan yang lebih jitu.

Wartawan       : “Kemaren bapak habis menjalani operasi organ hati…?”, Tanya salah seorang wartawan.
Kepala Negara            :  “Iya, mulai rusak…”, kata kepala Negara.
Wartawan       : “Pantas tidak merasa terharu, gak punya hati ….”, cetus salah seorang LSM dengan pedas.

Demi mendengar pernyataan itu, presiden langsung mengajak mereka masuk ke ruangan khusus, memberi mereka uang masing-masing lima juta rupiah dan meminta agar tidak menyebarkan berita tersebut di koran-koran.
Ternyata kepala Negara lebih takut jika ketahuan habis menjalani operasi hati daripada jika ketahuan tidak memiliki hati. Karena takut tidak dapat mencalonkan diri lagi dengan alas an organnya tidak sempurna.

Ulasan

Satir ini menggambarkan bagaimana PNS kita yang melakukan pekerjaan dan memakai anggaran hanya sesuai tupoksi. Tanpa pernah berfikir bagaimana menciptakan hasil pekerjaan yang optimal, tanpa pernah berfikir bahwa setiap pemakaian anggaran adalah bentuk penerimaan yang harus dipertanggungjawabkan. Jika ada pekerjaan di luar kantor, dapat dipastikan sore harinya tidak akan kembali ke kantor.

Jika dalam sebuah perusahaan, semua pengeluaran yang merupakan over heat. Bagian dari investasi yang harus menjadi diperhitungkan pada BEP/break event point (pengembalian modal). Bila tidak mencapai BEP, maka perusahaan dianggap tidak untung. Jika dibandingkan dengan pekerjaan para PNS yang kebanyakan merupakan para pegawai yang hanya sibuk menghitung, mengakali dan merancang anggaran. Tanpa perlu pertanggungjawaban, tanpa perlu perhitungan pengembalian apalagi sampai harus menghitung pengembalian modal. Hitungannya BEP memakai kalkulator BEP yang diciptakan sendiri.

Mensatir bagaimana para wartawan dan LSM adalah orang-orang yang selalu diberi uang hanya secukupnya, kecuali bila mereka memiliki senjata rahasia yang mampu membuat seorang petinggi ketakutan. Gaji wartawan harian yang kecil dengan materi pekerjaan yang banyak. Atau…. yang tanpa gaji tapi harus mengemis kesana-kemari untuk mencari materi berita yang bisa memberikan kontribusi dapur tanpa memikirkan kualitas isi berita.

Mensatir  Kepala Negara yang sangat hati-hati, bahasa yang kering kadang mengiba. Agar kelihatan lembut dan penuh pertimbangan, tapi tidak punya hati. Pada akhir satir ini tergambar kepala Negara yang lebih takut jika ketahuan habis menjalani operasi hati daripada jika ketahuan tidak memiliki hati. Karena bila tidak memiliki hati, tidak perlu memikirkan rakyat. Tapi kalau ketahuan habis menjalani operasi hati maka ia tidak dapat mencalonkan diri lagi dengan alasan fisik yang kurang sempurna.

Ini adalah satir lama, dengan improvisasi yang dibuat sesuai dengan kondisi saat sekarang ini. Saat menulis satir ini, saya menangis.  Saya teringat pada saat pemerintahan USSR (Uni Sovyet Socialis Republik) dibawah presiden Leonid Brezhnev. Begitu banyak humor satir yang berkembang. Penduduk Sovyet masa itu sangat menderita. Mulut para penduduk ditutup rapat. Tidak boleh berkomentar, ditangkap, dibuang ke Siberia dan dibunuh. Tetapi, siapa yang bisa membatasi pikiran. Semua pelarian Sovyet memberikan inspirasi sehingga satir tentang Sovyet (dan Polandia) sangat berkembang menyaingi humor satir Yahudi, Amerika maupun humor satir  dari Eropa (Inggris, Perancis dan Scotlandia).

Sebagai masyarakat tentunya kita tidak ingin banyak sakit hati dan kepedihan yang harus diterjemahkan dalam bahasa satir. Sakit hati dan kepedihan yang tidak pernah didengarkan (red: didengar beda dengan didengarkan). Penggunaan anggaran yang diakal-akali. Ingat! itu hak masyarakat. Kasus korupsi  yang tidak pernah tuntas. Ingat! itu uang Negara yang sama dengan uang masyarakat. Bertambahnya kasus-kasus korupsi baru. Kasak-kusuk tanpa ragu, beri alasan tanpa malu. Kekerasan dan pembunuhan para warganegara Indonesia yang menjadi TKI. Harus berjuang di negeri orang, karena di negeri sendiri tiada tempat untuk sekedar merasakan memiliki tanah air. Saat pulang tanpa nyawa, tiada pula yang membela. Pengebirian demokrasi dengan adanya kekerasan terhadap wartawan tanpa penyelesaian proses hukum dan penangkapan aktifis yang bersukacita mengabarkan kebenaran.
Jangan sampai tercipta satir-satir baru. Ungkapan kepedihan masyarakat, ungkapan ketidak adilan, ungkapan penjajahan di negeri sendiri.

Masyarakat, pemerintah, legislative, yudikatif dan segala elemen masyarakat adalah sebuah kesatuan yang seharusnya merupakan sinergi yang berkesinambungan. Semua saluran harus terbuka dan mengalir.

Bila ada salah satu yang macet, maka akan ada penggelembungan sumbatan yang akan membuat kontradiksi paradoks. Salah satu saluran tersumbat, menggelembung lalu pecah berhamburan. Mengerikan... Kita tidak mau ada “orde “lagi. Sehebat apapun, yang namanya revolusi selalu menghasilkan cheos. Kehancuran, porak-poranda, berantakan. Lalu muncul pahlawan-pahlawan baru. Pahlawan asli dan pahlawan palsu. Yang asli minggir tersingkir, pahlawan palsu muncul membusungkan dada keluar sebagai pemenang. Muncul kelompok baru, pemerintah baru, peraturan baru, otoriter gaya baru lalu sumbatan baru. Begitu terus… terjebak pada sebuah paradoks yang sama….

Merdekalah Negeriku…….ratap anak pertiwi. (Herlina Butar-Butar)