Sabtu, 27 Agustus 2011

LSM Lintas Rakyat : Memaknai Lelucon “Anak” Nazaruddin



"Saya adalah Fatiruhddin, anak dari Nazaruddin. Saya minta kepada Pak SBY, tolong jangan apa-apakan ibu-bapak saya, mereka tidak bersalah, mereka tidak tahu apa-apa. Kalau enggak percaya, tanya sama Oom Anas Urbaningrum, pasti dia lebih tahu, karena dia ikutan. Kalau mau jelas lagi, tanya tuh sama Tante Anggaran Angelina Sondakh, pasti dia lebih tahu lagi."
"Dari penjelasan mereka berdua, Oom SBY lebih ngerti, kalau bapak saya bekerja keras untuk mengumpulkan uang buat partai. Jadi, tolong dong Oom, jangan apa-apakan ibu-bapak saya. Kan, mereka sudah berjanji, untuk berpura-pura lupa dan menjaga nama baik partai......"
Inilah sederetan kata-kata yang terucap dari mulut kecil anak usia 10 tahun yang mengaku anak Nazaruddin. Murni, sebuah parodi sequel Nazaruddin. 

Kita tidak perlu terjebak dalam mencari kebenaran apakah anak tersebut anak Nazar atau bukan. Ada sebuah pesan terselubung. Pesan adanya upaya membuka mata masyarakat bahwa ada dugaan upaya pembungkaman terhadap Nazaruddin. Anak ini mewakili jutaan masyarakat yang memiliki keinginan untuk membuka permasalahan yang menyangkut "Nazaruddin Gate" ini. Masyarakat yang cerdas dan memiliki naluri bagaimana "bila saya menjadi" petinggi yang terlibat dalam kasus ini. Inilah dugaannya. Bungkam atau keluarga Nazaruddin terancam keselamatannya. 

Raut wajah dan keresahan itu terpancar jelas di wajah Nazaruddin. Sama seperti kita mendengar kata-kata Soetan Bhutagana yang keukeuh mengaku tidak berbohong padahal raut wajahnya menunjukkan seorang pendusta. Sama seperti wajah SBY yang dulu terlihat santun dan berseri karena memang memiliki itikad baik terhadap negara dan bangsa ini. Sama pula dengan raut wajah SBY yang kini lebih penuh kerut kemeriut karena sulitnya menjadi seorang pemimpin pada sebuah organisasi yang berisi para politisi mentah dan kacangan.
Yang terpenting : Lihat Substansinya !

Sabtu, 06 Agustus 2011

Sectio Caesaria…. Gengsi, Indikasi Medis atau Bisnis?

Sectio Caesaria, adalah istilah medis untuk proses persalinan atau melahirkan tidak melalui vagina tetapi dengan operasi. Umumnya disebut operasi sesar.
Cara bersalin dengan operasi sesar adalah dengan membuat sayatan pada kulit perut menembus jaringan kulit terdalam hingga sampai pada lapisan kantong rahim. Sayatan yang dibuat ini adalah rongga sebagai rongga pada perut untuk mengeluarkan bayi. Proses ini memerlukan pembiusan agar pasien tidak merasakan sakit pada saat disayat perutnya.
Operasi sesar pada awalnya hanya merupakan cara menanggulangi permasalahan bila persalinan mengalami kesulitan seperti posisi bayi sungsang, ukuran panggul ibu yang terlalu kecil bagi ukuran bayi yang akan lahir atau placenta previa (ari-ari yang mengalungi leher).
Namun, pada masa kini, opersasi sesar menjadi sebuah kebutuhan. Cara mengeluarkan bayi tidak melalui vagina dianggap lumrah. Bahkan menjadi gengsi tersendiri. Suami-suami berpendapat bahwa melahirkan dengan cara ini, vagina istrinya masih rapat seperti sebelum melahirkan. Gengsi menjadi alasan dikesampingkannya indikasi medis. Banyak pasutri masa kini berkompromi dengan dokter kandungan untuk menjalani persalinan melalui opersai sesar tanpa indikasi medis. “Serasa istriku belum pernah melahirkan”, demikian alasan para suami. Sedangkan sang istri setuju-setuju saja agar bisa membahagiakan suami.
Sepertinya dunia medis kita membuat sebuah kompromi tanpa kompromi. Kompromi profesi tanpa berkompromi dengan kemampuan ekonomi pasien. Dokter yang notabene adalah sang dewa penyelamat dapat membolak-balik realita antara indikasi medis dan bisnis. Dengan mudah dokter akan member keputusan perlunya operasi sesar, menyembunyikan fakta bahwa sang pasien masih memiliki kesempatan untuk melahirkan secara normal.
Sebuah operasi sesar membutuhkan biaya yang tidak murah. Sedikitnya 6 sampai 11 juta rupiah dikeluarkan dari kocek untuk sebuah operasi sesar. Bersalin normal hanya membutuhkan biaya 1 – 2 juta rupiah. Tiga kali lipat lebih mahal. Proses bersalin sesar hanya membutuhkan waku kurang lebih 2 jam, proses bersalin normal membutuhkan waktu sedikitnya 4 – 12 jam. Mulai dari kontraksi awal yang jarang-jarang, semakin sering, pembukaan lengkap sampai prosesnya keluarnya jabang bayi menghisap udara dunia.
Operasi sesar tentu lebih menguntungkan bagi dokter kandungan. 10 jam dengan bayaran 1 – 2 juta rupiah atau 2 jam dengan bayaran 6 – 11 juta rupiah.
Fakta ini begitu banyak terjadi di masyarakat.
Melahirkan Normal, Indah Tak Terhingga.
Cara melahirkan normal merupakan anugerah terindah yang diberikan Tuhan kepada perempuan. Dari awal masa kontraksi pertama pada persalinan normal, ibu dan bayi merasakan sebuah kebersamaan perjuangan. Sementara sang ibu sedang merasakan sakit luar biasa maka sang bayi berjuang sekuat tenaga menembus dinding kehidupan melalui mulut rahim. Semakin kuat dorongan bayi, semakin sakit pula kontraksi yang dirasakan sang ibu. Sakit yang poaling sakit yang pernah dirasakan para ibu adalah saaat kontraksi akhir menuju pembukaan lengkap. Perjuangan kebersamaan pertama ibu dan anak yang merupakan cara Tuhan untuk membentuk sebuah ikatan batin yang kuat, jauh lebih kuat dari pada ikatan batin ibu dan anak yang terlahir dengan cara operasi sesar.
Kenikmatan paling nikmat yang pernah dirasakan perempuan di dunia adalah pada saat-saat detik terakhir kepala bayi meluncur keluar dari lubang lahir. Euphoria kenikmatan itu tidak pernah dimengerti oleh perempuan yang pernah melahirkan normal. Kenikmatan yang tidak akan pernah dirasakan oleh perempuan yang lebih memilih operasi sesar daripada melahirkan normal. Nikmat sekali…. !! Sejuta kali lebih nikmat daripada orgasmus terhebat.
Salmin dan Operasi Sesar
(cerita sebenarnya, nama sebenarnya)
Salmin, tukang ojek yang biasa mangkal di pangkalan ojek di bilangan Jakrta Timur ini menceritakan pengalamannya. Pada saat istrinya hamil, ia sering membawa istrinya untuk rutin memeriksakan kehamilannya pada bidan yang berpraktek di kawasan Vespa Pulogadung. Selama kehamilan, bu bidan selalu mengatakan bahwa kandungannya sehat dan baik-baik saja. Pada saat akan melahirkan, sebagai suami yang baik dengan sigap Salmin langsung membawa istrinya ke bidan tempat istrinya biasa memeriksakan kehamilannya. Begitu istrinya masuk ke ruang persalinan, Salmin menunggu di luar. Tidak lama kemudian sang bidan dengan membawa selembar kertas yang berisi surat pernyataan operasi untuk ditandatangani. Bidan tersebut mengatakan bahwa ari-ari sang bayi melilit leher. Kalau melahirkan normal maka bayi memiliki kemungkinan tidak selamat. Salmin sangat panik, tanpa berfikir panjang ia segera mengambil kertas itu untuk ditandatangan. Tapi betapa terkejutnya ketika ia melihat rupiah dengan nominal 7 juta rupiah yang harus ia siapkan. Dalam keadaan panik Salmin masih mampu berfikir, ke mana ia akan mencari uang sebanyak itu. Masa, nanti anak bisa lahir sehat tapi punya utang setumpuk. Padahal, namanya punya anak akan lebih banyak lagi kebutuhan sehari-hari yang harus ia penuhi. Ia hanya seorang tukang ojek.
1311959643736024000
Salmin, hak second opinion. Istrinya melahirkan normal, tidak mau cesar
Karena merasa tidak akan sanggup membayar, Salmin menyerahkan kembali kertas itu dan tidak ditandatanganinya. Ia masuk ke ruang persalinan dan memeluk istrinya untuk bangun dan mengajaknya mencari bidan lain. Ia kembali membonceng istrinya mencari bidan di sekitar Kayumas. Begitu dilihatnya ada plang bidan, Salmin segera membelokkan motornya ke arah praktek bidan itu. Ia segera menggandeng istrinya, disuruhnya istrinya duduk di ruang tunggu dan ia memanggil bidan tersebut. Begitu sang bidan keluar, ia langsung berkata’
“Bu bidan, istri saya mau melahirkan tapi saya ngga mau pake operasi karena ngga akan sanggup bayar. Bu bidan harus menolong saya”
Si ibu bidan tersenyum dan langsung memapah istri Salmin ke dalam ruang bersalin. Memeriksanya, lalu keluar memberi pernyataan persetujuan.
Hari ini putra Salmin telah berusia tiga tahun, sehat, tampan tanpa kurang suatu apapun. Ibunya melahirkannya dengan cara normal dan ayahnya hanya membayar tujuh ratus limapuluh ribu rupiah, bukan tujuh juta rupiah. Masih banyak Salmin-Salmin yang lain yang mengalami nasib berbeda, harus sesar tanpa indikasi. Dan mereka menerima saja kenyataan harus sesar. Setelah memiliki anak, mereka harus berhutang kepada rumah sakit.
Bagaimana masyarakat mengetahui bahwa mereka masih memiliki pilihan untuk melahirkan dengan cara normal atau operasi sesar, hak untuk merasakan perjuangan pertama bersama sang buah hati mereka, tanpa harus berhutang untuk memiliki anak. Bagaimana mereka mengetahui bahwa mereka masih memiliki hak untuk merasakan sakitnya kontraksi sekaligus menikmati kenikmatan euphoria disaat detik-detik saat sang bayi meluncur ke dunia. Masihkah mereka memiliki hak???*lina*

Danramil 06 Cakung: Kapten Sukirman “TNI Siap Membantu Membagikan 140 Ton Beras Bagi Masyarakat Kurang Mampu”

Kapten Sukirman, komandan Rayon Militer 06 Cakung Kodim 505 tanggal 25 Mei 2011 resmi menjabat menggantikan Kapten Daniel Zebua yang ditarik ke KODIM 505.
131196043795078945
Ditemui di kantornya hari Rabu, 28 Juli 2011, Kapten Sukirman bercerita bahwa pada hari Minggu 7 Agustus 2011, akan diadakan pembagian beras sejumlah 140 ton bagi masyarakat kurang mampu di wilayah kelurahan Penggilingan kecamatan Cakung. Beras yang merupakan bantuan dari Negara Taiwan tersebut disalurkan melalui Yayasan Budha Tzu Chi. Setiap kepala keluarga akan mendapat jatah beras seberat 20 kilogram.
Yayasan Budha Tzu Chi sendiri merupakan yayasan Internasional yang telah melakukan kegiatan sosial sejak tahun 2003. Yayasan yang dipimpin oleh Ibu Liu Siu Mei telah melakukan kegiatan di seluruh Indonesia seperti membangun rumah bagi para korban bencana, membagikan sembako termasuk kegiatan membagikan beras seperti yang dilakukan pada bulan Agustus ini. Koordinator lapangan bapak Hemming menerangkan bahwa ada 16 RW di wilayah kelurahan Penggilingan, tetapi yang mendapat pembagian beras hanya 13 RW. 3 RW lainnya adalah merupakan daerah kompleks perumahan elite, sehingga tidak perlu mendapat bantuan.
1312629044792696023
Bapak Hemming memberikan keterangan kepada SGN dan Global Post (Kompasiana.com)
Yayasan Budha Tzu Chi melakukan pendataan secara langsung ke masyarakat dengan dibantu pihak Koramil. Sampai pada hari Minggu 7 Agustus 2011 Koramil 06 Cakung telah mendapatkan informasi ada sekitar 7000 kepala keluarga di wilayah kelurahan Penggilingan yang merupakan masyarakat yang akan mendapat jatah pembagian beras.
Komandan Rayon Militer o6 Cakung, Kapten Sukirman menegaskan, bahwa TNI siap membantu Yayasan Budha Tzu Chi mendata, membagi kupon sekaligus membagi-bagikan beras senilai 20 kg. Kapten Sukirman mengatakan, sangat senang bertugas di Cakung yang merupakan daerah kelahirannya. Kapten yang gagah ini mengatakan ingin sekali membantu bukan hanya pada saat pengamanan saja, tetapi juga ikut berpartisipasi membantu membagi-bagikan beras. Itu berarti, tentara ikut memanggul beras dan membagi-bagikan ke masyarakat. Tentara bisa langsung melihat senyum masyarakat yang senang menerima beras itu. Kebahagiaan masyarakat adalah kebahagiaan tentara yang merupakan pelindung, Garda masyarakat.
Kapten Sukirman sangat berapresiasi dan mengharapkan peran serta Pers dalam menyebarluaskan informasi kepada masyarakat. Setidaknya ada yel baru “ TNI dan PERS bahu membahu membangun Indonesia” *lina*

SBY, Anas, Marzuki Ali… Lupakah?

Pers, Dipuja dan Dicerca
Dengan segala kerendahan hati pula, insan Pers mencatat beberapa bagian penting sebagai masukan bagi teman-teman masyarakat, instansi pemerintah dan pejabat.
Pers adalah sebuah profesi penyampai informasi. Harus mencari sumber yang valid, pengembangan berita dan menyuguhkan ke masyarakat dalam tulisan yang enak dibaca di atas nampan media cetak maupun media elektronik.
“Jangan mau jadi wartawan, wartawan nggak ada yang kaya”
Kenyataannya, entah itu di media elektronik, media cetak bagaimanapun cara terbitnya, wartawan bukanlah profesi yang bisa melulu berorientasi kepada materi.
Pada media elektronik maupun media cetak yang telah terkenal, tekanan wartawan akan report pencarian berita jarang sekali mendapat upah yang seimbang. Berita yang ditulis bisa melambung, dibaca publik seantero negeri, tanpa perlu orang mengenal siapa yang menulis. Tulisan membawa dampak besar pada politik maupun ekonomi, tanpa pernah pers mendapat dampak besar pada penghidupan kesehariannya.
13119751651540640117
Pers, corong
Pada media mingguan maupun media-media cetak baru, pola yang berbeda terjadi. Dalam mencari berita, wartawan tidak mendapat gaji. Justru para wartawan harus membayar media cetak setiap kali terbit. Ikut urunan cetak dan ikut menjual eksemplar kepada publiknya. Ini tentu lebih berat lagi. Berita pengangkatan yang kadang terasa mengambang akan menghasilkan sedikit rupiah demi membumbungnya asap dapur dan biaya keluarga. Berita menyentil dan mengkritik akan menghasilkan tawaran dan umpatan. Tawaran besaran setengah bulan gaji PNS golongan 2A buat wartawan yang mau untuk tidak menerbitkan berita sentil dan kritik. Ini menarik. Membuat alergi kebanyakan pejabat publik. Jangan pernah membayangkan amplop berpuluh-puluh juta apalagi milyaran seperti makanan para koruptor. Jatah amplop bagi press release hanya kisaran 20 – 100 ribuan.
Pers memiliki hak untuk bertahan hidup, mencari nafkah dan memiliki keluarga. Dengan tetap menyewakan keahliannya. Menjadi corong, kabel informasi, mediator, makelar, penghubung, penyampai informasi dari dan kepada.
Kebanggaan wartawan adalah terletak pada banyaknya teman-teman. Teman polisi, teman politisi, teman jaksa, teman preman, teman mafia, teman pemulung dan pengemis, teman penyapu jalan, teman pedagang kakilima, teman pengangguran, teman pengusaha, teman buruh pekerja, teman mucikari, teman PSK, teman pengedar, teman para koruptor, teman artis celebrities, teman anak-anak, remaja dan teman manula.
Jalur dimanapun adalah jalur pers. Duduk, berbicara, bertanya, mencecar, mencerca. Pongah karena disesah. Rahasia pejabat ini pejabat itu. Rahasia pejabat selingkuh, punya PIL, punya WIL, korupsi, aib, kriminal dan segala informasi itu. Wartawan sebagai insan pers memiliki hak untuk memilih. Memilih menaikkan berita ini dan menahan berita itu. Bukan untuk tawaran itu. Untuk mengantisipasi bahwa response masyarakat akan membawa dampak baik atau buruk.
Nazaruddin, bukanlah berita baru. Ada fase menahan berita sampai masyarakat mampu mengkaji secara matang. Perlukah diangkat menjadi berita terlepas dari benar atau tidaknya isi BBM itu. Perlu!. Nazaruddin itu pejabat publik, kemarin atau sekarang. Benarkah itu BBM dari Nazaruddin. Benar!! Benarkah isinya, pers tidak perlu tahu. Itu bukan kapasitas pers.
1311974739662476039
Politikus hijau dalam belanga biru (kompas.com)
Selama ini kutipan bicara tanpa dokumen, setiap hari dinaikkan jadi berita. Tiada pernah dibahas maupun dikonfrontir.
Lalu, mengapa Anas, SBY dan PD harus kebakaran jenggot. Bukankah Anas dan SBY tidak punya jenggot. Bukankah ini sebenarnya potret demokrasi di negeri ini. Sejak berita itu mencuat, SBY secara terang-terangan membuka ketidaktulusannya mencintai Pers sebagai tonggak keterbukaan. Anas Urbaningrum ketahuan berusaha memanfaatkan posisinya sebagai pejabat publik untuk mendapat prioritas dimata hukum (kepolisian). Marzuki Ali, secara lugas membuka ketidak sukaannya kepada KPK sehingga membuka wacana BUBARKAN KPK. Bahkan membuat pernyataan untuk memaafkan para koruptor agar para teman-teman pejabatnya bisa bawa pulang uang hasil korupsi itu untuk disumbangkan ke negeri ini. Cuih!!! Rakyat tidak perlu sumbangan apapun. Itu uang rakyat. Uang hak yang secara Haqqul Yaqqin uang yang seharus dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
1311974648430902642
Anas yang cemas (kompas.com)
Siapa yang membantu membuat publik mengenal SBY, pada saat ia serasa dizolimi oleh Megawati. Dimana Sutomo mengobarkan semangat 10 November yang terkenal itu. Bagaimana Ira Kusno yang membacakan berita sehingga menjadi salah satu bagian bergulirnya reformasi. Berapa harga motor Suzuki Shogun tahun 2002 kondisi mulus. Bukan siapa-siapa, hanya sebuah profesi dengan pena atau kabel dan corong.
Pers hanyalah seorang teman. Teman yang dipercaya tanpa kepercayaan. Teman yang dibenci tanpa bisa dijauhi.
(Sekretaris Kabinet Dipo Alam menyerukan memboikot media massa yang bersikap kritis terhadap pemerintah. Dipo mengeluarkan instruksi kepada instansi pemerintah untuk tidak memasang iklan di media massa yang cenderung kritis—
“Mungkin dia lupa, bahwa dulunya ia berasal dari kalangan  aktivis yang sangat kritis terhadap pemerintah Soeharto, bahkan pernah ditahan di penjara, akibat sikap kritisnya itu. Namun kok sekarang justru alergi dengan sikap kritis media, ada apa dengan Dipo,” sesal Bagir)
(Banyak pemberitaan media massa, termasuk media yang selama ini memiliki kredibilitas dan reputasi baik, yang terus memojokkan Partai Demokrat dengan bersumber dari SMS atau BBM (BlackBerry Messenger). Yang saya tak paham dengan akal dan logika saya, justru berita yang bersumber dari SMS dan BBM dijadikan judul besar, tema utama, dan headline yang mencolok. Misalnya, SMS dan BBM yang dikirim orang yang mengaku Nazaruddin, yang sekarang yang bersangkutan masih buron. Tak dikonfirmasi kebenarannya, dianggap kebenaran, dan dijadikan alat untuk menghakimi Partai Demokrat. Dengan segala kerendahan hati, perilaku politik seperti ini tak mencerdaskan kehidupan bangsa,” – SBY
“Kalau memang ada BBM yang ngomongnya gitu ya itu fakta. Itu saya anggap sepanjang ditulis berdasarkan itu, ya masih dalam fungsi jurnalistik. Kalau memang ada BBM yang ngomongnya gitu ya itu fakta. Itu saya anggap sepanjang ditulis berdasarkan itu, ya masih dalam fungsi jurnalistik,” – Bagir Manan)
(”SBY dan media itu seperti benci tapi rindu. SBY membutuhkan media saat maju dua kali menjadi presiden. Tapi sama dengan pemerintahan terdahulu. Pemerintah tidak siap dengan kritik media. Dari zaman Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, hingga zaman SBY. Tidak ada yang siap berhadap-hadapan dengan pers. Saya kira pers kita di Indonesia profesional, siap untuk melaksanakan promosi, tapi juga siap untuk mengawasi dan mengkritik,” ujar Agus dalam diskusi “Demokrat Pecah, Pers Disalahkan” di Gedung DPR RI, Kamis, 14/7/2011)*lina*