Selasa, 26 April 2011

PERS


Pers Pilar Keempat (The Fourth Estate)
Antara Kredibilitas, Kapabilitas dan Fungsi Sosial Kontrol

Mengutip tulisan bangsawan dan pemikir Swiss Benyamin Constant (1767-1834) “Dengan surat kabar kadang muncul kericuhan, tapi tanpa surat akan selalu muncul penindasan” mengingatkan kita bahwa Negara demokrasi dapat berjalan stabil bila memiliki pilar demokrasi legislatif dengan fungsi perwakilan rakyat, eksekutif sebagai lembaga pemerintahan, lembaga yudikatif dengan fungsi hukum. Adagium pers sebagai pilar demokrasi keempat (the fourth estate) merupakan sebuah faktual yang tidak dapat dipungkiri.
Di Indonesia banyak statemen dan ucapan sebagai upaya pembelokan persepsi bahwa dasar Negara (Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika)   adalah pilar Negara. Upaya penolakan adagium pers sebagai sosial kontrol masyarakat.
Mengutip pembicaraan H. Moh. Mahfud MD (Ketua Mahkamah Konstusi/MK) mengenai 4 pilar demokrasi, H. Moh. Mahfud MD menggambarkan unsur legislatif, eksekutif dan yudikatif di Indonesia sedang sakit.
“Legislatif kita sedang sakit. Terjadi transaksi-transaksi politik yang tidak kredibel. Bila kita menyalurkan aspirasi kita disalurkan ke legislatif maka aspirasi itu akan digoreng dan dijual untuk kepentingan politik,” ujarnya. Namun, bagaimana pun sakitnya unsur legislative  harus tetap ada dan dihormati. Kalau legislatif tidak ada maka demokrasi tak akan bisa dibangun.
“Kondisi eksekutif juga tengah dilanda sakit. Dari tingkat pusat hingga daerah. Indikasinya, maraknya praktik KKN (Korupsi Kolusi dan Nepotisme), feodalisme yang masih terjadi, bahkan sampai transaksi politik. “Seperti kita (Indonesia, Red) belum mampu bergerak menjadi lebih bersih dan bebas dari KKN. Saya sering ke daerah dan mendapatkan pengakuan masyarakat bahwa sekarang masih sama seperti zaman orde baru,” ujar Mahfud.
Unsur yudikatif menurut Mahfud, lebih “gila” lagi.  “Lembaga peradilan seperti tempat jual-beli perkara, meskipun telah ada upaya untuk memperbaikinya. Kalau kita lihat laporan ICW dan tindakan MA yang menjatuhkan sanksi kepada para hakim, itu membuktikan bahwa dalam 10 tahun terakhir ini yudikatif kita masih sakit,” ujarnya.
Mahfud kemudian menyatakan bahwa sesunguhnya terdapat empat pilar demokrasi yakni legislatif, eksekutif, yudikatif dan pers dalam perannya sebagai civil society. Namun dari empat pilar itu, Mahfud mengaku meragukan kredibilitas ketiga pilar dan hanya mempercayai pers. Meskipun ia merupakan bagian lembaga yudikatif (Mahkamah Konstitusi).
Pers dimata Mahfud MD, masih sebagai lembaga publik yang tetap memegang teguh kebenaran, dan pers yang dapat diandalkan untuk mengobati ketiga pilar demokrasi yang sedang sakit itu. “Itu sebabnya kalau kunjungan ke daerah-daerah, saya selalu menyempatkan diri ke media massa karena saya percaya pers masih bersih, meskipun ada sedikit yang nakal tetapi masih bisa diperbaiki,” ujarnya.
Pada masa orde baru, segala informasi tertutup bagi masyarakat. Penerbitan surat kabar dibatasi. Media elektronik belum secanggih sekarang. Kebanyakan surat kabar pada masa itu merupakan mesin ‘corong’ pemerintah. Bila ada tulisan yang agak menusuk sedikit, pemerintah akan membreidel media massa tersebut tanpa ampun. Kontrol koordinasi dan distribusi merupakan hak penuh pemerintah dengan label Departemen Penerangan. Pada masa reformasi keadaan berubah. Saat ini, kebijakan mengenai media massa sudah bukan merupakan hak absolute pemerintah. Pembubaran Departemen Penerangan oleh Gus Dur menjadi sebuah bagian penting terjadinya reformasi berita.
Media massa bermunculan bak cendawan dimusim hujan. Segala warna segala rupa, segala kwalitas dan segala cara. Ada media harian yang harus peras dana karena tuntutan cetak setiap hari tanpa peduli ada yang membaca atau tidak. Media mingguan, dua mingguan atau bulanan dengan penerbitan rutin. Ada pula media yang terbit hanya ‘pada saat diperlukan’ (pada saat ada kasus). Berbarengan pula dengan munculnya insan pers.
Bila dulu, wartawan harus memiliki acuan latar belakang pendidikan atau memiliki referensi tulisan  dengan standar tertentu atau memiliki spesifikasi pengalaman atau memiliki akses ke jaringan. Kini muncul banyak pewarta dengan ragam kriteria/karakter. Ditambah pula mudahnya mendapatkan kartu dengan label pers pada beberapa media. Ada yang berprinsip teguh konsistensi, ada idealism murni, idealism realistis sampai ‘idealisme oportunistis’.
Istilah baru muncul seperti wartawan CNN (Cuma Nanya-Nanya), WTS (Wartawan Tanpa Surat Kabar) sampai istilah tentara ‘lapan enam’ yang berarti aman terkendali sudah berubah persepsi.
Janganlah kita menjadi bagian dari pilar-pilar lain yang sakit itu. Insan pers sejati tentunya tidak akan pernah mau membiarkan keadaan akan berlanjut sampai ke arah kehilangan kepercayaan publik.  Pers harus mampu menjadi pengawal demokrasi. Pers harus mampu menjaga kredibilitas, menjaga norma-norma sesuai dengan etika. Harus mampu menggapai kapabilitas dengan terus mengasah diri sehingga semakin. Mengawasi segala macam ketimpangan mencegah terjadinya penindasan, pembodohan, menjaga kepercayaan masyarakat dan menyuarakan kebenaran.
Biarlah kita tetap menjadi salah satu tiang penyangga tegaknya demokrasi di muka bumi Indonesia ini. Tidak berubah dan tidak pula kita yang membuatnya berubah. Tidak akan banyak uang ‘bensin’ yang masuk ke kantong kita tetapi kita mendapat pengakuan atas fungsi sosial kontrol. Bukan dari pejabat, bukan dari anggota dewan terhormat tapi dari masyarakat.(lintas)
….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar